Mendo’akan Orang NonMuslim

Assalamu’alaikum,

Kaifa haluka ?…. Lama g ngisi blok, kangen banget nich. Banyak unek-unek yang ingin ditulis c, tapi waktu yang kurang bisa bersahabat dengan baik. Alhamdulillah, sekarang bisa dech.

Untuk yang kesekian kalinya, saya ingin bertanya, berbagi ilmu dengan antum semua. Alangkah senangnya jika antum tidak keberatan dengan memberi komentar pada blog saya, khususnya kategori “Mukhdasah” ini. Pada kesempatan ini, saya ingin bertanya, bolehkah kita sebagai orang muslim, mendo’akan orang nonmuslim ? Baik do’a untuk keberhasilannya, do’a agar dia mendapat petunjuk-Nya, atau do’a-do’a yang lain ?

Saya  sangat mengharapkan jawaban atau komentar dari antum semuanya. Masalah yang mengidolakan seorang NonMuslim yang kemaren masih juga belum ada yang kasih comment, untuk pertanyaan ini masih ada hubungannya dengan pertanyaan Sang Idola kemaren. Segera kasih comment ya…..

Syukron. Wassalamu’alaikum.

Riya’ sebagai Awal Membiasakan Berbuat Baik

Assalamu’alaikum

Kaifa khaluka ? Semoga semuanya bi Khoiri wal afiyah. Amin.

Sebelumnya terima kasih yang sebesar-besarnya atas comment yang diberikan. Ini masih banyak unek-unek yang masih tertambat di dalam hati. Diantaranya  :

Boleh g sich kita bersikap riya’ untuk membiasakan berbuat baik ?. Kan sudah biasa kalau untuk melakukan perbuatan g baik mudah banget, ringan tanpa merasa terbebani. Tapi, kalau untuk mengawali perbuatan  baik, aduh…….. beraaaaat sekali, kecuali kalau sudah terbiasa. Sebagai contoh saya mempunyai keponakan yang mualesnya setengah mati. Kalau di suruh bapaknya, kakaknya, siapapun dalam keluarganya  dia g mau, bahkan ibunya. Kalaupun mau pasti sambil ngumpat. Pernah suatu pagi dia saya suruh bantu merapikan tanaman, tumben hari itu dia mau bantu. Kemudian ada tetangga sebelah rumah yang memuji dia ” Duh, Afis. Anak laki-laki sepagi ini sudah bangun, membantu membersihkan rumah lagi. Wulan aja jam segini masih tidur “. Setelah tetangga saya berlalu, saya berkata ” Tuh, dengar. Kalau kamu rajin dan giat pasti dipuji orang”. Dia hanya diam mendengar omongan saya.

Apakah tindakan saya tadi benar, mengajari untuk berbuat baik dengan riya’ sebagai motivasi awal ?

Syukron Katsiro. Wassalamu’aikum.

 

Sang Idola

Assalamu’alaikum Warahmatulloh Wabarokatuh

Alhamdulillah, akhirnya bab “Mukhadasah” ini ada juga yang kasih comment. Jadi tambah semangat nich untuk nulis lebih banyak lagi.

Untuk bahan “Mukhadasah” yang kedua ini, saya ingin tau boleh g  sich kita  mengidolakan seseorang secara amat sangat ? y mungkin bisa selebritis atau siapapun.  Trus apa boleh juga kita sebagai muslim mengidolakan orang yang bukan muslim ?

Misalnya si A seorang muslimah. Dia mengidolakan seseorang perempuan yang bukan muslim. Bagaimana hukumnya ?  Dan seandainya yang diidolakan itu seorang laki-laki bukan muslim juga bagaimana hukumnya ? 

Itu y, tolong bagi para pembaca semuanya di kasih comment. Syukron Katsiro.

Wassalamu’alaikum Warahmatullohi Wabarokatuh.

Sombong = Optimis ?

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh,

Alhamdulillah, satu persatu blog ini telah bertambah juga contennya. Pada kategori Mukhadasah ini saya ingin mengajak Antum untuk berdiskusi secara tidak langsung tentang islam dan kaitannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ini saya berharap semoga dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita terutama tentang islam.

Sebagai bahan Mukhadasah kita yang pertama saya ingin menanyakan tentang sombong dan optimis. Waktu saya duduk di MI dulu, pada pelajaran Aqidah Akhlaq salah satunya membahas tentang akhlaq terpuji dan akhlaq tercela. Diantara akhlaq terpuji adalah optimis dan diantara akhlaq tercela adalah sombong. Tapi Akh, Ukh saya masih bingung bagaimana saya menempatkan kedua sifat ini ? Kapan saya harus optimis ? dan jikalau bagaimana sehingga saya jangan sampai sombong ? Na’udzubillah min dzalik. Pernah suatu ketika saya ikut test untuk dikirim lomba. Saya tau saya tidak terlalu mampu untuk ikut lomba itu. Dan saya lolos untuk ikut lomba itu. Tapi tidak ada paksaan untuk ikut lomba atau tidak. Sebagian teman saya mendesak saya untuk ikut dan memotivasi saya untuk optimis, sebagian lagi mengingatkan saya “Apakah kamu mampu ?”. Sedangkan kalau saya ikut pasti teman saya yang kontra tadi menganggap saya sombong. Sedangkan saya mencoba optimis untuk ikut, tapi dari kemampuan saya memang tak ada yang bisa saya optimiskan.

Begitu Akh, Ukh. Apa ada persamaan antara sombong dan optimis ? apa pula perbedaannya ? dan bagaimana  harus menerapkan keduanya dalam kehidupan sehari-hari ?

Akhi dan Ukhti yang bisa bantu saya, tolong dikomentari ya. Syukron Katsiro.

Wassalamu’alaikum Warohmatulloh Wabarokatuh.