Khusyu’

Khusyu’….

Sebenarnya apa sich pengertian  Khusyu’  itu ? Pastinya kata ini berhubungan do’a. Apakah khusyu’ iu berarti kita harus selalu mengingat- Nya ketika berdo’a ? Apakah kita harus  faseh dalam melafadzkan do’a – do’a yang kita baca ? Atau ada pengertian lain ….

Tapi  saya pernah mendengar suatu ceramah yang sepenggalnya mengatakan bahwa ketika sholat kita harus khusyu’ dalam hal ini setiap gerakan sholat yang kita lakukan selalu teringat kepada-Nya. Wah tentu hal yang begitu amat sangat sulit bagi kita. Meskipun hanya sekejap mata pasti masalah duniawi lewat di pikiran kita dan membuyarkan  kekhusyu’an kita. Apalagi kita hanya manusia biasa, yang banyak dosa, manusia yang istimewa disisi Alloh ( Nabi Muhammad SAW ) saja pernah teringat sesuatu ketika melaksanakan sholat. Tapi tetap saja kita tidak boleh putus asa untuk selalu berusaha sholat dengan khusyu’.

Bahkan sholat kadang – kadang mengingatkan kita sesuatu yang kita lupa beberapa saat yang lalu. Saya sering  mengalami, dan yang  membuat saya terpikir sampai sekarang adalah kejadian beberapa hari yang lalu. Ceritanya berawal dari keberangkatan bapak saya yang mencari ikan setiap hari. Tempatnya sangat jauh jika ditempuh dengan sepeda pancal. Tapi hal itu merupakan jarak yang dekat bagi bapak saya meskipun dicapainya jarak itu dengan sepeda pancalnya yang sudah tua, yang dulu sering membonceng saya ke rumah mbah ketika saya berusia 4 tahun. Ketika hari menjelang sore hujan turun dengan derasnya disertai angin yang cukup kencang. Merupakan hari  yang biasa terjadi di bulan – bulan ini. Bapak belum pulang – pulang juga. Saya, kakak saya, dan Emak saya sangat khawatir. Meskipun Emak tidak menunjukkan rasa kekhawatiranya kepada kami, tapi kami tau dari sikapnya yang mondar – mandir ke dapur terus ke depan, ke dapur lagi ke depan lagi dan begitulah …

Dan ketika kami sedang berusaha menyelimurkan perasaan kami dengan melihat kelucuan keponakan saya ” Rara “, tiba -tiba tetangga saya, Umi datang dan mengabarkan bahwa ban sepeda bapak bocor dan belum bisa pulang. Dengan cepatnya saya langsung ganti baju dan pinjam sepeda sepupu saya. Saya dan Umi berangkat menjemput bapak ditengah hujan deras dan angin kencang. Setengah perjalanan saya mengisi bensin, setelah beberapa jauh dari penjual bensin, dari kejauhan saya melihat seorang laki-laki yang dengan kuat mengayuh sepedanya karena arahnya berlawanan dengan angin. Saya sungguh tidak mengenali topi loreng dan kaos hitam yang biasa dipakai bapak saya, dan memang benar, itu memang bapak saya. Dengan perasaan senang saya hampiri bapak saya, dan katanya bannya sudah ditambal. oleh beliau saya disuruh pulang dulu, sambil menunjukkan jalan yang beraspal. Tidak seperti jalan yang saya tempuh ketika berangkat tadi. Akhirnya saya kembali pulang dengan Umi, dan bapak tetap pulang dengan sepeda pancalnya. Dalam perjalanan pulang, Umi bercerita ” Aku tadi tau kalau Yai Wi bannya bocor dari bapak, Neng. Sebenarnya sudah dari tadi bapak ku mau mengabari ke keluarga pean, tapi lupa. Bapak ingat ketika  sholat, bahwa ada pesan dari Yai Wi kalau ban sepedanya bocor. Maaf ya Neng “.

Saya sempat diam. Saya g tau diam saya tadi itu marah, atau apa ? Saya hanya berpikiran kalau seandainya dia mengabari hal itu lebih awal, pasti bapak sudah di rumah, dan tidak perlu pulang dengan sepeda pancalnya sambil menggigil kedinginan. Saya bisa memboncengnya dan sepedanya kan bisa ditinggal di penambalan. Saya g tau apakah pikiran yang seperti ini berarti saya marah atau tidak. Tapi saya tetap senang dan bersyukur karena bapak pulang, saya g peduli apakah bapak dapat ikan banyak, sedikit, atau bahkan g dapat ikan sama sekali, yang penting bapak pulang. 

Setelah saya sampai di rumah saya sadar bahwa meskipun mereka telat mengabari keluarga saya keadaan bapak di luar sana, tapi saya tetap beterima kasih kepada mereka, karena kabar yang meraka bawa tadi memutuskan rasa khawatir di hati kami, terutama Emak. Dan saya sadar kalau semua  ini karena SHOLAT.

Tugas Tersenyum

Kawan2 NI SEBUAH CERITA FROM ANK MALANG RAYA,

” PENERIMAAN TANPA SYARAT ”

Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan
kuliah saya.
Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen
sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang
memilikinya. … Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi
nama “Smiling”.
Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya
kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi
mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan di
depan kelas.
Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu
tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir, tugas ini sangatlah
mudah.
Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anak
bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke
restoran McDonald’s yang berada di sekitar kampus.
Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan
masuk ke dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang
menemani si Bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.
Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak
setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir dan, bahkan, orang
yang semula antri di belakang saya ikut menyingkir keluar dari
antrian.
Suatu perasaan panik menguasai diri saya ketika berbalik dan melihat
mengapa mereka semua pada menyingkir.
Saat berbalik itulah saya membaui “bau badan kotor” yang cukup
menyengat dan…tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki
tunawisma yang sangat dekil…! Saya bingung dan tidak mampu
bergerak sama sekali…..
Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang
lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya dan ia
sedang “tersenyum” ke arah saya….
Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam…tapi juga memancarkan
kasih sayang….
Ia menatap kearah saya seolah ia meminta agar saya dapat
menerima ‘kehadirannya’ di tempat itu…. Ia menyapa “Good day”
sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang
disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan
saya membalas senyumnya dan seketika teringat oleh saya ‘tugas’ yang
diberikan oleh dosen saya.
Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh, berdiri
di belakang temannya. Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu
menderita defisiensi mental dan lelaki dengan mata biru itu
adalah “penolong”nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui
bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama
mereka…dan kami bertiga tiba-tiba saja sudah sampai di depan
counter.
Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin
saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan.
Lelaki bermata biru segera memesan, “Kopi saja, satu cangkir…,
Nona!”
Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh
mereka (Sudah menjadi aturan di restoran disini, jika ingin duduk di
dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli
sesuatu.). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan
badan.
Tiba-tiba saja saya diserang oleh rasa iba…, membuat saya sempat
terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka
mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu-2 lainnya, yang
hampir semuanya…sedang mengamati mereka. Pada saat yang bersamaan
saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga
sedang tertuju ke diri saya…dan pasti juga melihat semua ‘tindakan’
saya….
Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk
ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya
tersenyum… dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan
saya) dalam nampan terpisah.
Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang
ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke tempat
duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya
berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua
lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan
itu di atas mejanya dan meletakkan tangan saya di atas punggung
telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu sambil saya
berucap, “Makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua….”
Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai
basah berkaca-kaca. ..dan dia hanya mampu berkata, “Terima kasih
banyak, Nyonya….”
Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya
berkata, “Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian,
Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke
telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian….”
Mendengar ucapan saya, Si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan
memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya
merengkuh kedua lelaki itu….
Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan
meninggalkan mereka…dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang
tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya
mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata, “Sekarang
saya tahu kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku…, yang
pasti, untuk memberikan ‘keteduhan’ bagi diriku dan anak-anakku. ..!”.
Kami saling berpegangan tangan beberapa saat…dan saat itu kami
benar-benar bersyukur dan menyadari bahwa hanya
karena ‘bisikanNYA’ lah kami telah mampu memanfaatkan ‘kesempatan’ ..
untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat
membutuhkan.
Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan
meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya…,
mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar
ingin ‘berjabat tangan’ dengan kami. Salah satu di antaranya,
seorang bapak, memegangi tangan saya dan berucap, “Tanganmu ini telah
memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada
disini…., jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan
lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami….” Saya
hanya bisa berucap, “Terimakasih” , sambil tersenyum
Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat
ke arah kedua lelaki itu dan, seolah ada ‘magnit’ yang menghubungkan
bathin kami, mereka langsung menoleh ke arah kami sambil tersenyum
lalu melambai-lambaikan tangannya kearah kami…
Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya
lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar-
benar ‘tindakan’ yang tidak pernah terpikir oleh saya dan sekaligus
merupakan ‘petunjuk’ bagi saya maupun bagi orang-orang yang ada di
sekitar saya saat itu. Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya
betapa ‘kasih sayang Tuhan’ itu sangat HANGAT dan INDAH sekali…!
Saya kembali ke college pada hari terakhir kuliah dengan ‘cerita’ ini
di tangan saya. Saya menyerahkan ‘paper’ saya kepada dosen saya.
Keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya, saya dipanggil dosen
saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, “Bolehkah
saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?”, yang dengan senang
hati saya mengiyakannya.
Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk
membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswa pun mendengarkan
dengan seksama cerita sang dosen dan ruangan kuliah menjadi
sunyi…. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam
membawakan ceritanya membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah
itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu
berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang di
dekat saya di antaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan
perasaan harunya.
Di akhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup
ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir
paper saya, “Tersenyumlah dengan ‘HATImu’ dan kau akan mengetahui
betapa ‘dahsyat’ dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu….”
Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah ‘menggunakan’ diri saya untuk
menyentuh orang-orang yang ada di McDonald’s, suamiku, anakku,guruku
dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai
mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah
saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu : “PENERIMAAN TANPA
SYARAT”.


Para orang bijak mengatakan :

– Banyak orang yang datang dan pergi dari kehidupanmu tetapi hanya
sahabat yang bijak yang akan meninggalkan JEJAK di dalam hatimu.

– Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu…. Namun untuk
berinteraksi dengan orang lain, gunakan HATImu!

– Orang yang kehilangan uang, akan kehilangan banyak; Orang yang
kehilangan teman, akan kehilangan lebih banyak. Tapi orang yang
kehilangan keyakinan, akan kehilangan semuanya!

Tsulatsiyat

Ada 3 penghancur, 3 penyelamat, 3 penebus dan 3 derajat.

Adapun 3 Penghancur : kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan bangganya seseorang terhadap dirinya sendiri.

Adapun 3 penyelamat : adil dalam keadaan marah dan ridho, hemat ketika miskin dan kaya, takut kepada Alloh SWT ketika sendiri atau bersama.

Adapun 3 penebus : menunggu sholat berikutnya selepas mengerjakan sholat, menyempurnakan wudhu dan memindahkan kaki-kaki ke dalam jama’ah.

Adapun 3 derajat : memberi makan, menyebarkan salam dan sholat di malam hari ketika manusia tidur.

Cahaya Hati

Alloh Engkau dekat
penuh kasih sayang
Takkan pernah Engkau biarkan hamba-MU menangis
karna kemurahan-MU
karena kasih sayang-Mu……..
Hanya bila Dirimu
Ingin nyatakan cinta…..
pada Jiwa-jiwa yang rela dia kekasih-Mu
Kau yang slalu terjaga……..
yang memberi segala
Disetiap nafas disegala waktu
semua bersujud memuji memuja asma-Mu
Kau yang slalu terjaga,
yang memberi segala…
Setiap makhluk bergantung pada-Mu
dan bersujud semesta untuk-Mu
setiap wajah mendamba cinta-Mu, cahaya-Mu
Alloh yaa Rohman, Alloh yaa Rohim Alloh yaa Ghofar yaa Nurul Qolbi.

By. OPICK 

Kembali pada Alloh

bila hati gelisah
tak tenang, tak tentram
bila hatimu goyah
terluka, merana

jauhkan hati ini dari Tuhan, dari Allah
hilangkan dalam hati dzikirku, imanku
hanya dengan Allah
hatimu akan menjadi tenang

dengan mengingat Allah
hilangkan semua kegelisahan
cukuplah hanya Allah
hati bergantung dan berserah diri

By. OPICK

Karena Hidup Hanya Sekali

Seberat apapun beban hidup kita hari ini …
Sekuat apapun godaan yang harus kita hadapi…
Sekokoh apapun cobaan yang harus kita jalani..
Sebesar apapun kegagalan yang kita rasai..
Sejenuh apapun hari-hari kita lalui…

Jangan pernah berhenti berharap pada pertolongan Illahi…
Jangan pernah berhenti berdoa kepada Rabbi…
Karena harapan adalah masa depan…
Karena harapan adalah sumber kekuatan…
Karena doa adalah pintu kebaikan…
Karena doa adalah senjata orang beriman…

Kita mungkin pernah merasakan betapa tidak berartinya hidup ini, jenuh dan membosankan. Kita seperti manusia yang tidak ada gunanya lagi hidup di dunia. Hari-hari yang kita lalui hampa tiada arti. Kegagalan kita temui disana-sini. Cobaan dan rintangan kita hadapi tiada henti. Beban hidup tarasa berat menjerat. Bagi mereka yang tidak punya iman, mengakhiri hidup yang indah ini seringkali menjadi pilihan.

Hidup ini hanya sekali, terlalu indah untuk kita buat sia-sia. Karena memang Allah menciptakan makhluknya tidak untuk sia-sia. Betapa bahagianya hidup ini bila kita jalani dengan penuh semangat dan optimisme yang tinggi. Betapa indahnya hidup ini bila hari-hari kita jalani dengan senyum kebahagiaan dan sikap positif memandang masa depan. Betapa sejuknya bila kita sabar menghadapi setiap permasalahan, kemudian kita berusaha memecahkannya dan mengambil ibroh dari setiap kejadiaan.

Sebuah pakupun akan menghadapi masalah pada tubuhnya bila tidak tepat menempatkan diri. Bila ia terletak di tanah basah, suatu saat ia akan berkarat, tidak memiliki guna, terinjak, bahkan mungkin suatu saat akan terkubur bersama karat yang menyelimutinya. Tapi bila kita bisa menempatkannya di tempat yang tepat, kita tancapkan pada sebuah dinding, walaupun ia berkarat, paku itu berguna bagi manusia. Sebagai penyangga, tempat gantungan, atau sebagai penyatu berbagai benda.

Begitu pula kehidupan manusia. Bila kita tidak tepat menempatkan diri kita, tidak sadar siapa diri kita, tidak tahu untuk apa kita di dunia, kita hanyalah seonggok jasad hidup yang terlunta-lunta. Bila kita tidak memanfaatkan potensi yang ada, selalu memandang negatif setiap peristiwa, membiarkan diri berlumur dosa, bahkan tidak tahu dengan Sang Pencipta, kita adalah makhluk hidup yang tidak berguna. Kemudian hidup ini pun terasa berat untuk kita lalui.

Masalah dan cobaan adalah bunga kehidupan orang-orang beriman. Kembalilah kepada Allah bila kita menghadapinya agar kita tenang. Lihat, apakah kita sudah tepat menempatkan diri. Jangan menjadi paku yang terletak di tanah basah. Tapi jadilah paku yang dapat menyangga kehidupan manusia. Walaupun kecil, tanpa paku itu sebuah bangunan besar tidak akan pernah berdiri.

 

Tangan Ibuku

Beberapa tahun yang lalu,ketika ibu mengajak saya berbelanja bersamanya, beliau membutuhkan gaun yang baru. Saya adalah salah satu putranya yang temperamental, kurang sabar dan kurang merasa nyaman bila berbelanja segala kebutuhan wanita,dan berada di deretan bagian peralatan kosmetik, kebetulan saya masih bujangan.

Kami mengunjungi beberapa toko dan ibu mencoba gaun demi gaun dan MENGEMBALIKAN SEMUANYA, seiring hari yang berlalu, saya merasa lelah dan ibu mulai merasa frustasi karena belum ada yang cocok.

Akhirnya pada toko terakhir yang kami kunjungi, ibu mencoba satu stel gaun biru, pada blusnya terdapat sejenis tali bagian tepi lehernya, beberapa menit mencoba di kamar ganti, ibu memanggil saya untuk membantunya, saya melihat bagaimana beliau mencoba gaun itu dan mengikat talinya, ternyata tangannya sudah dilumpuhkan oleh usia dan keriput ditangannya tampak terlihat jelas .

Seketika ketidaksabaran saya berubah menjadi rasa iba yang dalam kepada beliau, GAUN ITU BEGITU INDAH DAN COCOK BAGI BELIAU, dan saya mencoba menyembunyikan airmata saya yang mengalir tanpa saya sadari.

BELANJA BERAKHIR, tapi sepanjang sisa hari itu saya teringat tangan ibu saya yang berusaha mengikat tali blusnya, KEDUA TANGAN YANG PENUH KASIH, yang pernah MENYUAPI saya, MEMANDIKAN saya, MEMAKAIKAN BAJU saya, MEMBELAI DAN MENIMANG SERTA MEMELUK saya, BERDOA BUAT saya.

Tangan itu telah menyentuh hati saya, KEDUA TANGAN tersebut adalah tangan yang paling indah di dunia ini.